dalam Islam Perempuan dibatasi, Tidak Boleh Berpendidikan Tinggi?
Maka, oleh karena itu memang tak salah kalau ada yang beranggapan bahwa pancang peradaban itu serba maskulin. Nyatanya, Ielaki memang lebih dominan dalam sejarah peradaban secara umum.
Apalagi, bila kita melihat dalam sejarah peradaban Islam, peradaban agama yang menerapkan pembatasan ketat antara ruang lelaki dan ruang perempuan.
Peran dominan lelaki dalam peradaban Islam itu, sebetulnya, tidak lebih dari sekadar tampilan layar. Lelaki lebih terlihat karena berperan di luar dengan ruang yang luas, sedangkan peran perempuan tidak terlihat karena mereka berperan di balik layar dengan ruang terbatas yang relatif sempit. Pada dasarnya, konstruksi peradaban tidak mungkin dibangun tanpa kombinasi peran antara lelaki dan perempuan.
Mengenai pembatasan ruang perempuan itu, tidak sedikit orang yang salah paham dan mengangap bahwa Islam melakukan pemasungan terhadap perempuan. Tidak hanya sarjana non- Muslim, sarjana-sarjana Muslim pun tidak sedikit yang menyatakan semacam itu. Maka, oleh karena itu sangat perlu didudukkan bagaimana sebetulnya hal tersebut.
Kalau dinyatakan bahwa perempuan Muslimah berada dalam pasung kejayaan peradaban Islam di masa Abad Pertengahan, maka hal itu jelas tidak benar.
Beberapa referensi sejarah semacam Siyoru A'lamin-Nubaib', al-Ibar fi Khabari Man Ghabar, al-Wafi bil-Wafayat dan lain-lainya, tidak jarang menceritakan peranan AsySyaikhah (syekh perempuan) dalam perekembangan ilmu pengetahuan. Orang yang terbiasa membaca kitab-kitab Siyar dan Thabaqat (kumpulan biografi singkat tokoh dari satu masa ke masa yang lain), ia akan sangat mudah menemukan kata musnidah (ungkapan untuk pakar Hadis perempuan) dalam literatur-literatur itu. Kata musnidah seringkali digandeng dengan nama tempat, misalnya Musnidatu Khurasan (pakar Hadis perempuan dari Khurasan), Musnidatusy-Syam (pakar Hadis perempuan dari Syam), dan lain sebagainya.
Literatur-literatur itu juga kadang menyebutkan bahwa para Syaikhah itu justru menjadi rujukan periwayatan Hadis, termasuk bagi para pelajar lelaki. Di Abad Kelima, misalnya, ada Syaikhah Karimah alMarwaziyah (w. 465). Beliau menjadi salah satu pakar Hadis Tanah Haram Mekah yang mewarisi mata rantai Shahih al-Bukhari dari Abul Haitsam al-Kasymihani dan Abubakar al-Khathib. Karimah juga menjadi sumber riwayat bagi beberapa ulama, semisal Ali bin Husain al-Farra', Abul Muzhaffar Ibnus Sam'ani, Abdullah al-Ghazzal, dan lain sebagainya.
Begitu pula Syaikhah Fathimah (w. 480) yang menjadi pakar Hadis di kota Nisapur. Beliau adalah putri dari tokoh sufi terkenal, Abu Ali ad-Daqqad. Beliau tercatat sebagai sumber riwayat bagi beberapa ulama semisal Abu Ali ar-Raudzabari, Abu Abdillah al-Hakim, dan Iain sebagainya. Begitu pula, Syaikhah Fathimah binti Sa'dil Khair (w. 600 H.), yang menjadi sumber riwayat bagi beberapa ulama di Damaskus dan Mesir, semisal Ibnus Syathibi, Abdullah bin Alan, al-Hafizh adh-Dhiya', dan Iain sebagainya.
Itu hanya contoh kecil. Selain mereka, tentunya masih banyak yang Iain, meskipun tidak sebanyak pakar-pakar dari kalangan lelaki. Namun, setidaknya, hal itu sudah bisa memberikan gambaran bahwa peradaban Islam tidak melakukan pemasungan apapun terhadap kreativitas perempuan. Islam tidak pernah menghambat perempuan untuk meniti tangga ilmiah, asalkan upaya itu dilakukan dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan syariat.
Gambaran ideal tentang aktivitas ilmiah perempuan Muslimah, jelasnya adalah seperti yang diteladankan oleh Sayidah Aisyah radhiyallahu anha. Beliau menjadi salah satu sumber terbesar ilmu pengetahuan agama Islam. Beliau meriwayatkan ribuan Hadis dari Rasulullah. Tanpa peran Siti Aisyah, barangkali akan sangat banyak persoalan keagamaan yang menjadi misteri.
Siti Aisyah menjadi rujukan utama ilmu keagamaan Islam pasca wafatnya Rasulullah Para Sahabat banyak bertanya Hadis dan hukum kepada Siti Aisyah, karena beliaulah yang paling sering menyertai Rasulullah di tempat-tempat dan waktu-waktu yang tak mungkin terjangkau oleh para Sahabat. Bahkan, Siti Aisyah juga tidak segan menyampaikan sesuatu yang terkesan malu untuk dibicarakan perempuan secara umum. Tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Rasulullah membuat Siti Aisyah tidak segan menyampaikannya.
Siti Aisyah memuji perempuan yang punya semangat tinggi dalam keilmuan.
"Perempuan terbaik adalah perempuan Anshan Perasaan malu tidak menghalangi mereka untuk belajar tentang agama," tegas beliau dalam riwayat al-Bukhari. Abu Musa al-Asy'ari pernah bilang kepada Siti Aisyah, "Aku ingin menanyakan suatu hal kepada engkaU, tapi aku malu untuk mengatakannya." Maka, Siti Aisyah mengatakan, "Janganlah engkau malu untuk bertanya kepadaku mengenai sesuatu yang biasa engkau tanyakan kepada ibu yang melahirkanmu. Aku adalah ibumu (Ummul Mukminin)." Hal ini dilakukan oleh Siti Aisyah karena beliau merasa punya tanggung jawab besar untuk menyampaikan apa yang beliau ketahui tentang Rasulullah. Namun demikian, Siti Aisyah sangat ketat menjaga jarak dengan para Sahabat yang bukan mahramnya. Siti Aisyah menerangkan ilmu pengetahuan dari belakang hijab, kecuali terhadap mahramnya, semisal Abdullah bin azZubair, Urwah bin az-Zubair, dan al-Qasim bin Muhammad (semuanya adalah keponakan beliau).
Dalam riwayat an-Nasa'i, Siti Aisyah juga menerapkan hijab terhadap Salim Sublan setelah Salim merdeka. Asalnya, Salim adalah sahaya milik mahram Siti Aisyah. Ketika Salim masih belum merdeka, Siti Aisyah pernah mempraktikkan tata cara wudu secara langsung di hadapannya, karena pada saat itu ia masih belum haram melihat Siti Aisyah.
Dalam cerita Salim: Ketika masih berstatus mukatab (budak yang masih menyicil pembayaran untuk merdeka), aku mendatangi beliau (Siti Aisyah), tapi beliau tidak bersembunyi dariku. Beliau duduk di hadapanku dan berbincang-bincang denganku. Hingga suatu hari aku mendatanginya dan berkata, "Doakan berkah untukku wahai Ummul Mukminin!"
Beliau bertanya, "Ada apa?” . "Aku dimerdekakan oleh Allah,” kataku. "Semoga Allah memberkatimu,” jawab beliau sambil menutup hijab. Sejak itu—kata Salim—aku tidak pernah melihat Ummul Mukminin.
Berbagai riwayat di atas menunjukkan betapa Siti Aisyah betul-betul menjadi teladan yang ideal dalam menggambarkan peran pendidikan perempuan. Beliau menyampaikan tanggung jawab ilmiah kepada umat sampai dalam urusan-urusan yang malu untuk dibicarakan oleh perempuan secara umum. Namun demikian, Siti Aisyah tetap betul-betul menjaga prinsip syariat bahwa perempuan tidak bisa berbaur bebas dengan laki-laki. Bahkan, dalam satu riwayat, Siti Aisyah sempat melarang perempuan pergi ke masjid. Hal itu beliau lakukan karena kondisinya sudah tidak sama dengan masa Rasulullah Pada masa itu masyarakat sudah berubah, sehingga Siti Aisyah melihat bahwa banyaknya perempuan yang pergi ke masjid justru melahirkan hal-hal negatif yang melanggar syariat.
Betapa baiknya, jika perempuan Muslimah meniru Siti Aisyah. Memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, tapi tak sedikitpun mengabaikan aturan-aturan syariat tentang perempuan. Ilmu yang tinggi memang jangan sampai menyebabkan Muslimah melupakan tugas dasarnya sebagai ibu dan istri, juga kewajiban dasarnya untuk menjaga hijab dari lelaki yang bukan mahramnya. Jika tidak, sudah cukup bagi perempuan memiliki ilmul-hal saja, yakni ilmu-ilmu yang harus ia ketahui pada saat itu, seperti ilmu tentang salat jika ia wajib salat, ilmu tentang haji jika wajib haji, dan seterusnya. Jika ia beribadah dengan benar, menjaga kesucian diri dan taat kepada suami, surga tampak jelas di depan mata. Wallohu A'lam.
Post a Comment for "dalam Islam Perempuan dibatasi, Tidak Boleh Berpendidikan Tinggi?"
Silahkan Berkomentar dengan Sopan