Aqiqah dan Qurban Untuk Orang Tua yang Telah Meninggal Tidak Sah?!
Aqiqah adalah sunnah Rasul yang didevinisikan sebagai penyembelihan hewan dalam rangka penebusan seorang anak. Sebab, sebagaimana sabda Nabi saw, tubuh seorang anak itu tergadaikan sampai ia diaqiqahi:
"Seorang anak tergadaikan dengan (tebusan) aqiqah yang disembelih untuknya di hari yang ke tujuh, dicukur rambut kepalanya dan diberi nama." [H.R Turmudzi].
Dari hadits di atas, Imam Ahmad ibn Hanbal berkomentar bahwa anak yang tidak diaqiqahi oleh orang tuanya -padahal orang tuanya mampu- kelak di hari kiamat tidak akan mampu memberikan syafaat kepadanya. yang paling sempurna, aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing yang telah berumur satu tahun. Sedangkan untuk anak perempuan cukup satu ekor kambing saja. Diperbolehkan pula dengan seekor kambing saja untuk anak laki-laki, namun hal ini dianggap kurang sempurna. Bahkan, menurut ibn 'Abbas ra aqiqah bisa terlaksana dengan menyembelih hewan apapun yang penting halal, seperti ayam, bebek, atau angsa.
Waktu disunnahkannya aqiqah adalah sejak kelahiran sang buah hati, sampai sang anak menginjak baligh. Namun, sangat utama jika aqiqah dilakukan pada hari ke tujuh setelah bayi terlahir.
Jika anak telah menginjak baligh sebelum ia sempat diaqiqahi, maka orang tua tak lagi menanggung beban aqiqah. Sebaliknya, beban kesunnahan aqiqah menjadi tanggungan anak tersebut. Sebab, setelah manusia menginjak usia baligh, maka seluruh beban ibadah akan dibebankan dipundaknya sendiri, bukan orang Iain. Hal ini berlandaskan firman Allah dalam Surat al-Najm: 39
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, " (QS. al-Najm: 39)
Namun, ayat tersebut di atas tidak dapat membatasi seseorang untuk bisa ikut berpartisipasi dalam kelancaran ibadah orang Iain. Bukan berarti seseorang tidak dapat ikut berperan dalam mensukseskan pendapatan pahala bagi orang Iain. Dalam persoalan di atas misalnya, syara' memberikan kewenangan kepada seorang anak untuk mengaqiqahi orang tuanya yang belum terlaksana. Dengan catatan, pelaksanaan aqiqah tersebut telah mendapat izin atau wasiat.
Sayyidina Ali ra berkata: "Baginda Nabi pernah memerintahkanku untuk melakukan qurban untuknya dan aku melaksanakan qurban untuknya. " Dari kisah sayyidina Ali ini ulama menyimpulkan bahwa melaksanakan qurban untuk orang Iain diperbolehkan asalkan telah mendapat izin atau wasiat darinya. Selanjutnya, ulama mencoba mengembangkan konklusi hukum demikian ini ke dalam persoalan aqiqah. Mengingat, qurban dan aqiqah memiliki banyak persamaan.
Bahkan, menurut Abu Hasan al-Ubadi, melakukan qurban untuk mayyit tidaklah harus dengan mendapatkan wasiat darinya. Dengan tegas al-Ubadi memaparkan pahala qurban tetap akan sampai pada mayyit. Beliau berargumen bahwa qurban adalah sedekah, untuk mengirimkan pahala qurban pada orang Iain tidak harus mendapatkan izin atau wasiat darinya. Begitu pun halnya masalah aqiqah.
Mengaqiqahi orang tua atau orang Iain hukumnya boleh bila ada izin darinya atau wasiat darinya. Bahkan, menurut al-Ubadi diperbolehkan meski tanpa wasiat darinya, sebagaimana dalam permasalahan qurban.
Rujukan
مغني المختاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج ( ج ٦ ص ١٣٨)٠
توشييح على ابن القاسم (٢٧١) الهدايه
الموسة الفقهيه (ج٣٠ ص ٢٧٨)٠
أسنى المطالب (ج ١ ص ٥٤٨) منارا قدوس
فتح الوهاب (ج٢ ص١٨٩) مكتبة سليمان مرعى
مغنى المختاج (ج ٦ ص ١٣٧)٠
الإيضاح (ص٣٣٤)٠
المجموع شرح المهذب (ج٨ ص٤٠٦)٠
Post a Comment for "Aqiqah dan Qurban Untuk Orang Tua yang Telah Meninggal Tidak Sah?!"
Silahkan Berkomentar dengan Sopan