Bolehkah Isteri Meminta Upah atas Pekerjaan Rumah Tangga yang dilakukannya?
Memasak, mencuci, menyapu, mengurus anak, dan segala tetek bengek yang ada di rumah harus ia selesaikan tanpa mengharap upah dan imbalan. Bahkan saat malam menyapa dengan selimut hitamnya, seorang isteripun harus siap sedia melayani kebutuhan seksual sang suami dengan mengesampingkan rasa lelah.
Kadang hati berbisik, ingin menolak dan berontak, namun akhirnya mereka sadar, bahwa semua ini adalah kodrat wanita, kewajiban, dan kenyataan hidup yang harus dijalani apa adanya tanpa mengharap "ada apanya".
- Dalam teropong fiqh, kewajiban siapakah pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, mencuci, dan lain-lain?
- Jika bukan kewajiban istri, haruskah suami memberitahukan padanya mengenai hal ini?
- Bolehkah isteri meminta upah atas pekerjaan rumah tangga yang dilakukannya?
Rumah tangga ibarat bahtera yang berlayar mengarungi samudera kehidupan. la harus siap menghadapi ombak dan badai Yang menentang. Suami dan isteri bagai nahkoda Yang harus selalu memiliki kesamaan persepsi dalam menentukan arah laju bahteranya. Perbedaan arah atau pandangan antara mereka dapat mengundang gUlungan ombah Yang siap menerpa, menggoncang, memecah dan bahkan menenggelamkan bahtera mereka.
Pada prinsipnya, kewajiban pokok dalam berumah tangga bagi seorang suami adalah mencukupi kebutuhan hidup istri dan anakanaknya, kebutuhanyang dimaksud berupa sandang, pangan, maupun papan. Selain itu, suami juga berkeharusan menyediakan pembantu bagi sang istii jika ia adalah wanita yang memiliki status sosial tinggi, dan saat hidup di rumah orang tuanya ia biasa dilayani.
Sedangkan kewajiban wanita sebagai isteri adalah menyerahkan dirinya kepada sang suami untuk dicumbu dan melayaninya melakukan hubungan seksual. Bukan sekedar melampiaskan nafsu yang membuncah, melainkan untuk mewujudkan maksud dan tujuan nikah yang tak Iain adalah menghasilkan keturunan sebagai generasi yang menjaga berkibarnya bendera Islam di cakrawala.
Penyerahan diri seorang istri kepada suami, secara konseptual dapat dinilai sebagai imbal balik dari nafkah yang ia terima. Terbukti, seorang istri tidak lagi berhak mendapat nafkah jika ia tidak lagi konsisten menyerahkan dirinya kepada sang suami (nusyüz). Ketaatan isteri kepada- suami yang berimbang dengan perhatian sang suami kepadanya merupakan elemen yang penting dalam memperbaharui simpul tali pernikahan hingga menjadi semakin erat. Rasulullah saw bersabda:
"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang Iain, niscaya aku perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya." (HR• Ibn Måjah)
Menurut pendapat ulama madzhab Syafi'i, tidak ada kewajiban atas istri memberi pelayanan tetek bengek persoalan rumah tangga' seperti mencuci pakaian, menyapu, masak dll. Bahkan diperbolehkan
baginya meminta upah atas pelayanan yang telah diberikan kepada sang belahan jiwa. Disebutkan dalam firman Allah swt:
"Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya. " (QS. Ath-Thalaq: 6)
Menurut pendapat ulama madzhab Hanafi, seorang wanita wajib melayani suami dalam kesehariannya. Pendapat ini berdasar pada kebijakan Rasulullah saw membagi pekerjaan antara Sayyidina Ali ra dan Sayyidatina Fatimah ra. Pekerjaan rumah adalah tugas Fatimah, sedangkan pekerjaan di luar rumah adalah tugas Ali.
Lain dari hal tersebut, ulama madzhab Maliki cenderung memahami hadits tersebut dengan kesimpulan; istri berkewajiban melayani suaminya dalam pekerjaan-pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh kaum istri. Dalam pendapat ini, kebudayaan dan tradisi masyarakat berperan sebagai penentu kewajiban-kewajiban seorang istri. Dalam kultur masyarakat Jawa misalnya, memasak, mencuci, dan menyapu adalah pekerjaan para kaum istri.
Berdasar pada pernyataan madzhab Syafi'i, konsekuensi berikutnya adalah wajibnya sang suami memberitahukan kepada sang istri bahwa semua pekerjaan tersebut sebenarnya bukanlah kewajiban atas dirinya.
Pemberitahuan ini bermaksud agar isteri tidak beranggapan bahwa semua pekerjaan itu adalah kewajibannya dan telah menjadi kodratnya. Sebab, dengan anggapan demikian istri seolah menjadi terpaksa melakukan hal-hal di luar tanggungjawabnya, padahal sebenarnya ia boleh meminta upah atas pekerjaan tersebut.
Dalam pada itu, istri tidak berhak meminta upah atas pekerjaan yang telah ia lakukan selama ia belum mengetahui hukum tersebut. Sebab, ia telah melakukan pekerjaan tersebut secara suka rela tanpa harap imbal upah. Ia juga dinilai ceroboh tidak mau bertanya mengenai hukum yang sebenarnya.
Berbeda dengan orang-orang yang disewa untuk melakukan suatu pekerjaan. Jika ternyata transaksi sewa yang telah dilakukan tidak sah sebab faktor tertentu, ia berhak mendapatkan ujrah al-mitsl (upah standar). Sebab ia melakukan pekerjaan tersebut bukan atas dasar sukarela namun dengan harapan imbal upah.
- Memasak, mencuci, menyapu dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang lain menurut madzhab Syafi'i bukan merupakan kewajiban istri. Hal ini berbeda dengan madzhab lainnya.
- Suami wajib memberi penjelasan kepada istri bahwa pekerjaanpekerjaan tersebut tidak wajib bagi sang istri. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada sangkaan bahwa pekerjaan tersebut wajib atas dirinya.
- Isteri tidak berhak mendhpat upah atas pekerjaan rumah yang telah ia laksanakan saat ia belum mengetahui hukum sebenamya.
Post a Comment for "Bolehkah Isteri Meminta Upah atas Pekerjaan Rumah Tangga yang dilakukannya?"
Silahkan Berkomentar dengan Sopan